Sudah
sekitar sebelas tahun lebih, aku lupa kapan waktu itu aku berangkat ke
Australia di ajak Mr. Steward untuk
mengisi bangku manajer keuangan di perusahaan properti terbesar kedua di negeri benua itu. Mr. Steward adalah
dosen undangan semasa kuliah, dia menjadi kenalan baikku karena sering
berdiskusi mengenai ilmu arsitek. Waktu itu aku baru saja menikahi seorang
gadis, teman semasa kuliah yang aku ajak ke Australia sehari setelah pernikahan,
tak sempat kita adakan pesta pernikahan di rumah.
Terakhir
kali sebelum pelanconganku ke Negeri Kanguru, aku melihat Emak menangis di
terminal kota Magelang, seraya membawakan makanan favoritku yaitu gethuk buatan Emak, dan setelah bus
berhenti di lampu merah depan terminal perlahan tangisan Emak berubah menjadi
senyuman.
"Faisal
anakku, ojo kuwatirke Emak! (Jangan
khawatirkan Emak!) " Teriak Emak sambil melambaikan tangan dan berlari
kecil seakan mencoba mengejar laju bus.
Kata dan
senyum terakhir Emak sebelum lampu hijau membawa bus melaju kencang meninggalkannya
dan aku masih menikmati tangisan perpisahan di dalam bus, tangis semakin mendesah
hingga kutarik nafas dalam-dalam agar aku tak terlalu terjerembab dalam
kepiluan. Air mata tak tertahan jatuh dari langit mataku yang mengalir di hilir
kesedihan. Semakin deras tangisku saat wajah Emak perlahan menghilang dari
pandang mata, hanya bayang-bayang wajah Emak yang tenang dan damai menemani
perjalanananku.
Aku sangat
bahagia bisa kembali ke Indonesia untuk kali pertama ini, di kota kecil ini, di
kampung Bumirejo yang lama mengajariku. Istri dan anak-anakku nampak senang
jauh dari ramai hiruk pikuk Sidney, khususnya Campbelltown, rumah yang kami
tinggali. Sepertinya aku akan lama di Indonesia, karena sekarang aku dipercaya
memimpin perusahaan cabang yang baru dibuka di Indonesia, tentu ini adalah hal
yang sangat membuatku bersyukur pada Tuhan.
***
Pintu depan
rumah yang terbuka, aku lontarkan salam mulia bagi si penghuni rumah. Istriku
sesaat menatapku dan tersenyum seakan menjawab rasa bahagia setelah aku sampai
di tempat ini.
"Wa’alaikum
salam, monggo mlebet mawon (silahkan
masuk saja)," Salamku terjawab dari jauh dalam rumah, suara seorang perempuan
yang sesekali suara batuk terdengar. Aku tersenyum lega mendengar suara itu,
lalu aku masuk ke rumah yang temboknya mulai kusam, ada beberapa dinding yang
terkelupas atau retak, tapi sangat bersih dan rapi, semua hiasan dinding
melekat dengan tegap, almari dengan buku-buku lawasnya yang tertata rajin,
bahkan televisi empat belas inch di
pojok ruang tengah terlihat serasi dengan meja dan kursi kayu yang berbaris
rapi.
Sengaja aku
tak langsung menemui penghuni rumah yang sedang sibuk di dapur, penghuni rumah
pun tak merasa curiga, karena memang aku tahu rumah ini selalu terbuka untuk
siapa saja yang mau mampir.
"Tuhan,
terima kasih telah mengembalikan aku disini," dalam batinku saat melihat
seorang perempuan tua penghuni rumah yang asyik di dapur yang tak lain adalah
Emak, perempuan yang aku ada karenanya, kalau kata orang kampung sini ‘dadi
uwong’ (menjadi orang), gelar untuk seorang yang sudah mampu bekerja dan hidup
mandiri, lebih-lebih sudah memiliki pasangan hidup dan anak. Di sebelah pintu
masuk dapur aku duduk di kursi rotan menatap isi dapur, dimana aku biasa makan
sewaktu kecil, sambil bermain bara api ditungku batu, hampir tidak ada yang
berubah, termasuk sesosok perempuan tua itu, tak ada yang berubah dengan yang
ia lakukan dulu.
Saat ini aku
tak mau kehilangan pandangan dari sesosok perempuan tua di dapur itu, sosok yang semakin tua seiring bertambahnya garis-garis keriput di mukanya,
aku sungguh ingin menyapa dan memeluknya sekarang juga, kerinduan ini sudah
berada di ujung rasa, menggelora, kadang menyiksa hati karena aku merasa
durhaka karena meninggalkanya, aku ingin sekali waktu itu bawa Emak ke
Australi, namun Emak menolaknya karena sesuatu hal yang ia tidak bisa
tinggalkan, rutinitas sore hari itu, Emak lebih bahagia melakukannya, bukan
karena dia tidak mau tinggal denganku di Australi. Aku paham betul keinginan
Emak, dan aku masih ingat saat berangkat ke Australi hanya gethuk dan ridho bekal
dari Emak yang aku anggap cukup dan telah membulatkan keyakinanku untuk
berangkat.
Aku terus
pandangi dari bangku ruang tengah, Emak masih belum sadar atas kehadiranku, mungkin
dikiranya aku Mbok Lasmi atau Wo Sairun tetangga sebelah yang sering bertamu
atau kadang mengantar sayur atau lau untuk emak, mereka sudah Emak anggap
keluarga sendiri, mereka pun juga menganggapku sebagai anak mereka sendiri.
"Ayah!"
Teriakan itu mengagetkanku, teriakan anak laki-lakiku yang langsung menemaniku
duduk, sambil menatap ke sudut dimana pandanganku tadi terjatuh. Ternyata
anakku Syair telah membangunkanku dari lamunan memori tentang Emak.
"Nak,
lihat di dapur itu, dia ibu ayahmu ini, ayah panggil dia Emak, sudah tua,
berbuat apa adanya, tapi jangan pernah melihat dari apa yang kamu lihat
sekarang," ujarku pada anak tertuaku yang baru kelas empat sekolah dasar.
"Dia
ibunya ayah?" tanya anakku dengan penasaran.
"Iya
nak, kamu baru melihat pertama kali siang ini, lihat tangannya nak, kasar
bukan?" tanyaku.
"Iya
yah, kasar, seperti tergores-gores sekeliling lengannya," jawab Syair.
"Tangannya
kasar karena dia relakan kulit halusnya untuk merawat anak satu-satunya hingga
dewasa. Lihat uban di kepalanya nak, banyak bukan?"
"Iya
ayah, hampir semua rambutnya berwarna putih," jawab Syair membenarkan.
"Begitu
pula pengorbanannya bagi anaknya, seperti uban-uban itu, ayah tak dapat
menghitungnya."
Begitu aku
ceritakan lebih banyak lagi kisah tentang perempuan tua di dapur itu pada Syair
anak pertamaku. Aku berharap dia mengerti maksudku, paling tidak setelah dewasa
kelak dia akan ingat ceritaku ini. Dia Ku anggap sudah bisa mencerna berbagai
pengalaman hidup, aku tahu karena Syair selalu menanyakan banyak hal tentang
kehidupan, dia selalu menjaga tugas dengan baik menjaga adik-adik perempuannya
Ghazia dan Affafa ketika ditinggal di rumah sendirian jika Aku dan istriku
pergi.
Setelah lama
berkisah pada anakku, aku ajak anakku ke suatu tempat sebelum senja datang.
"Ayo
nak, ayah mau ajak kamu ke suatu tempat, tempat yang akan mengajarimu sekali
lagi," kataku.
"Tapi
ayah, maukah ayah jawab satu pertanyaan lagi?"
"Tentu
saja, apa itu," jawabku dengan mengkerutkan dahi.
"Kenapa
ia sendirian di rumah ini, dimana suaminya?" Tanya Syair dengan agak
kebingungan.
Aku hanya
tersenyum dan melanjutkan ajakanku. "Mari nak ikut ayah, semua itu akan
kutunjukan jawabannya."
Kami pun
sampai di tempat tujuan kami, tak jauh dari rumah, sekitar seratus meter,
jalannya sudah berubah, semen beton telah menyelimuti jalan tanah yang dulu
sangat licin sampai aku berulang kali terpeleset, apa lagi di musim hujan aku
harus ekstra waspada jika tak ingin tubuhku bercumbu lumur.
"Tunggulah
di sini, sebentar lagi setelah bara di dapur tuanya padam dia akan datang
kesini." Kataku pada Syair.
Aku menunggu
di sebuah gardu kecil bersama Syair. Tak lama berselang, Emak datang, membawa
sekeranjang bunga mawar dan sapu lidi. Ia mulai menyapu dan merapikan sebuah papan
dari kayu yang sudah tidak begitu jelas tulisan yang melekat, tapi masih bisa
dibaca dari jarak agak dekat. Dilanjutkan
menabur bunga, lalu ia menengadahkan tangan, dengan khusyuk ia berdoa, tidak
terlalu lama, tapi raut wajahnya mengisyaratkan kuatnya azzam. Persis seperti setiap hari dimana Emak selalu mengajakku
saat aku kecil, begitu Emak masih belum berubah.
Anakku,
Syair, hanya diam melihatku yang perlahan menitikkan air mata, sesaat ia menatapku
sesaat ia menatap Emak, ia mencoba mencerna.
"Ayah,
apakah makam itu makam suaminya?” tanya Syair sambil menunjuk kearah gundukan
tanah di depan Emak.
Aku
tersenyum pada anakku, memberikan pelukan sebentar dan meolehkan wajahnya kearah
Emak dan menjawab “ia dulu selalu bilang pada ayah kalau ia akan menyusul mayat
di makam itu, mayat suaminya, kapanpun yang ia tidak mengetahuinya, , dan
kematian yang sempurna adalah ketika hidupmu dekat dengan Yang Sempurna.”
"Aku
mengerti ayah, semua ini aku mulai paham maksud ceritamu. Ayah, aku mengerti
bahwa ibumu telah mengajariku sesuatu hal yang sangat berharga, dia
mengorbankan banyak hal, dia menjadikanmu menjadi ayah yang hebat bagiku, dia
tegar hidup sebatangkara hanya dengan bekal pesan kematian lewat kuburan
suaminya yang sudah mati, dan satu lagi yang terpenting ia membuatmu merasa
sangat bahagia bertemu dengannya hari ini.”
Aku segera
pulang lebih dulu sebelum senja menghilang, meninggalkan Emak di kuburan
sebelum Emak juga pulang ke rumah, menanti pelukan hangat emak yang lama
kurindu.
----------Selesai
(Azwar A., 20 Mei 2013)