Rabu, 23 Oktober 2013

BOOK COLLECTION: IBU: ANTOLOGI PUISI DAN CERPEN






“Aku suka ceritanya, sederhana tapi menyentuh, apalagi ini cerita tentang ibu.” Meyda Sefira Artis, Pemeran ”Husna” dalam Film Ketika Cinta Bertasbih *** Maka, tak jadi soal jika sesuatu yang ‘sublim’ akan hadir pada karya-karya yang mampu menikahkan dirinya dengan ibu penuh cinta, seperti dalam buku ini, setiap bulu kuduk akan berdiri memberi hormat kepada makna-makna yang merujuk kata ibu, sebab dari sanalah ia yang hanya dianggap ada di saat-saat merinding pun, dilahirkan. Sobih Adnan Penikmat puisi dan cerpen, aktif di Komunitas Seniman Santri (KSS) *** Dialah, Ibu…. Tidak ada sutera yang begitu lembut seperti belaian Ibu. Tidak ada tempat ternyaman selain pangkuan dan pelukan Ibu. Tak ada bunga yang lebih cantik selain senyuman dan kebahagiaan Ibu. Kasih sayang, kepedulian dan cintanya yang tanpa batas menginspirasi para penulis untuk menuangkannya dalam sebuah karya. Antologi Cerpen berpadu dengan puisi-puisi indah membuat buku ini layak menjadi bacaan inspiratif untuk semua kalangan. ... Sisi unik seorang Ibu dituangkan secara detail. Semuanya terangkum dan disajikan secara apik dalam buku antologi ini. Semoga buku ini dapat menjadi inspirasi bagi kita, insan- insan yang mencintai Ibu, dengan segala kesempurnaan mereka. Salam Pena Emas.

PUISI: TULIP


Tulip yang bergoyang
Pada angin dia bercumbu
Pada kumbang dia cemburu
Tulip kembang impian

Tulip si hati Tulip
Tak mau dirayu embun fajar
Esok amarah lalu mana rayuan
Ah..Tulip yang menawan

Jika gugur buat kenangan
Pada hati para penikmat kembang
Teringat Tulip di angan
Selalu menarik perbincangan

(Azwar A, 23 Oktober 2013)

Sabtu, 03 Agustus 2013

PUISI DARI PEMBACA: BOLA API

Aku pernah mendengar dongeng tentang bola api
Ya, Bola berbentuk bundar yang dikelilingi api
Denga mudahnya jatuh kebawah bersama susur gravitasi
Jatuhnya meninggalkan api, ditanah, didedaunan, di semak belukar
Menyebarkan api yang lain
Merah
Terlihat jelas kalau api itu mencari teman
Agar ia tak sendiri, agar ia tak terjaga dalam hangus
Bola api itu misterius

Datangnya tak diundang, namunya pulangnya menyisakan bara
Menerkam apapun yang dilewatinya
Yang lemah akan ikut berapi
Yang kuat akan tetap berdiri dengan prinsipnya
Bola api itu tak bertepi

By mega kahdina
Mega_kahdina@yahoo.com
Megaaakahdina.tumblr.com

PUISI: PADAMU MESIR

Padamu Mesir
Sebelum mendung pelangimu
Sebelum gelap cahayamu
Selaksa nirwana para musafir

Sesudah merah tanahmu
Sesudah menggigil anak-anakmu
Bagai pangeran yang bosan kan nyaman

(Azwar A, 31 Juli 2013)

PUISI: DAHLIA

Seelok itu kau dahlia
Dari tanah yang bertuan
Dipandang sahaja nian manja
Membuat rumput tampak lengang

Kau kembang yang menawan
Segugur pohon rindang
Ajak daku keliling taman
Di sebuah kebun sang tuan

(Azwar A, 4 Juli 2013)

Kamis, 13 Juni 2013

PUISI DARI PEMBACA: JALAN KEHIDUPAN


Bisik angin bertiup lirih ,,mendesir halus, menggoda nurani untuk mendengar ,apa yang hendak terucap
Hati bergetar ,bibir terdiam ,mata terbuka sayu ,menatap sebuah harapan kosong
Jalan kehidupan bukan jati diri, bukan jalan yg akan kau lalui, bukan seribu liku liuk kehidupan
Lalu apa?



Jalanmu, jalanku, jalanya tiada sama
Namun jalan kehidupan sejati adalah tempat terahkhir kau merebahkan sukma
Dalam naungan damai yg terdapat di sebuah ruang dimensi yang abadi 
Dalam kasih tuhan Yang Maha Esa 

Surga indah yg tak terbantahkan oleh kata "tidak"
Wahai hati yang terbelenggu nikmat, jiwa terjerat semu, dan raga berlumur air kenikmatan dosa
Sesungguhnya tiada guna, jika hanya menuntun dalam sebuah kesengsaraan abadi
Engkaulah bidadari surga, peluklah seorang yg tak memuja keelokan parasmu
Bukan pendamba  kenikmatan bersamamu
Namun genggam erat tangan seorang di antaa mereka yg menuntunmu menuju jalan kehidupan yang abadi Dalam keridhoan Tuhanmu, sebagai imam penerang jalanmu

Oleh: Agung Riadi

Selasa, 21 Mei 2013

CERPEN: KU AJARKAN TENTANG EMAK


Sudah sekitar sebelas tahun lebih, aku lupa kapan waktu itu aku berangkat ke Australia  di ajak Mr. Steward untuk mengisi bangku manajer keuangan di perusahaan properti terbesar kedua di negeri benua itu. Mr. Steward adalah dosen undangan semasa kuliah, dia menjadi kenalan baikku karena sering berdiskusi mengenai ilmu arsitek. Waktu itu aku baru saja menikahi seorang gadis, teman semasa kuliah yang aku ajak ke Australia sehari setelah pernikahan, tak sempat kita adakan pesta pernikahan di rumah.
Terakhir kali sebelum pelanconganku ke Negeri Kanguru, aku melihat Emak menangis di terminal kota Magelang, seraya membawakan makanan favoritku yaitu gethuk buatan Emak, dan setelah bus berhenti di lampu merah depan terminal perlahan tangisan Emak berubah menjadi senyuman.
"Faisal anakku, ojo kuwatirke Emak! (Jangan khawatirkan Emak!) " Teriak Emak sambil melambaikan tangan dan berlari kecil seakan mencoba mengejar laju bus.
Kata dan senyum terakhir Emak sebelum lampu hijau membawa bus melaju kencang meninggalkannya dan aku masih menikmati tangisan perpisahan di dalam bus, tangis semakin mendesah hingga kutarik nafas dalam-dalam agar aku tak terlalu terjerembab dalam kepiluan. Air mata tak tertahan jatuh dari langit mataku yang mengalir di hilir kesedihan. Semakin deras tangisku saat wajah Emak perlahan menghilang dari pandang mata, hanya bayang-bayang wajah Emak yang tenang dan damai menemani perjalanananku.
Aku sangat bahagia bisa kembali ke Indonesia untuk kali pertama ini, di kota kecil ini, di kampung Bumirejo yang lama mengajariku. Istri dan anak-anakku nampak senang jauh dari ramai hiruk pikuk Sidney, khususnya Campbelltown, rumah yang kami tinggali. Sepertinya aku akan lama di Indonesia, karena sekarang aku dipercaya memimpin perusahaan cabang yang baru dibuka di Indonesia, tentu ini adalah hal yang sangat membuatku bersyukur pada Tuhan.
***
Pintu depan rumah yang terbuka, aku lontarkan salam mulia bagi si penghuni rumah. Istriku sesaat menatapku dan tersenyum seakan menjawab rasa bahagia setelah aku sampai di tempat ini.
"Wa’alaikum salam, monggo mlebet mawon (silahkan masuk saja)," Salamku terjawab dari jauh dalam rumah, suara seorang perempuan yang sesekali suara batuk terdengar. Aku tersenyum lega mendengar suara itu, lalu aku masuk ke rumah yang temboknya mulai kusam, ada beberapa dinding yang terkelupas atau retak, tapi sangat bersih dan rapi, semua hiasan dinding melekat dengan tegap, almari dengan buku-buku lawasnya yang tertata rajin, bahkan televisi empat belas inch di pojok ruang tengah terlihat serasi dengan meja dan kursi kayu yang berbaris rapi.
Sengaja aku tak langsung menemui penghuni rumah yang sedang sibuk di dapur, penghuni rumah pun tak merasa curiga, karena memang aku tahu rumah ini selalu terbuka untuk siapa saja yang mau mampir.
"Tuhan, terima kasih telah mengembalikan aku disini," dalam batinku saat melihat seorang perempuan tua penghuni rumah yang asyik di dapur yang tak lain adalah Emak, perempuan yang aku ada karenanya, kalau kata orang kampung sini ‘dadi uwong’ (menjadi orang), gelar untuk seorang yang sudah mampu bekerja dan hidup mandiri, lebih-lebih sudah memiliki pasangan hidup dan anak. Di sebelah pintu masuk dapur aku duduk di kursi rotan menatap isi dapur, dimana aku biasa makan sewaktu kecil, sambil bermain bara api ditungku batu, hampir tidak ada yang berubah, termasuk sesosok perempuan tua itu, tak ada yang berubah dengan yang ia lakukan dulu.
Saat ini aku tak mau kehilangan pandangan dari sesosok perempuan tua di dapur itu, sosok yang semakin tua seiring bertambahnya garis-garis keriput di mukanya, aku sungguh ingin menyapa dan memeluknya sekarang juga, kerinduan ini sudah berada di ujung rasa, menggelora, kadang menyiksa hati karena aku merasa durhaka karena meninggalkanya, aku ingin sekali waktu itu bawa Emak ke Australi, namun Emak menolaknya karena sesuatu hal yang ia tidak bisa tinggalkan, rutinitas sore hari itu, Emak lebih bahagia melakukannya, bukan karena dia tidak mau tinggal denganku di Australi. Aku paham betul keinginan Emak, dan aku masih ingat saat berangkat ke Australi hanya gethuk dan ridho bekal dari Emak yang aku anggap cukup dan telah membulatkan keyakinanku untuk berangkat.
Aku terus pandangi dari bangku ruang tengah, Emak masih belum sadar atas kehadiranku, mungkin dikiranya aku Mbok Lasmi atau Wo Sairun tetangga sebelah yang sering bertamu atau kadang mengantar sayur atau lau untuk emak, mereka sudah Emak anggap keluarga sendiri, mereka pun juga menganggapku sebagai anak mereka sendiri.
"Ayah!" Teriakan itu mengagetkanku, teriakan anak laki-lakiku yang langsung menemaniku duduk, sambil menatap ke sudut dimana pandanganku tadi terjatuh. Ternyata anakku Syair telah membangunkanku dari lamunan memori tentang Emak.
"Nak, lihat di dapur itu, dia ibu ayahmu ini, ayah panggil dia Emak, sudah tua, berbuat apa adanya, tapi jangan pernah melihat dari apa yang kamu lihat sekarang," ujarku pada anak tertuaku yang baru kelas empat sekolah dasar.
"Dia ibunya ayah?" tanya anakku dengan penasaran.
"Iya nak, kamu baru melihat pertama kali siang ini, lihat tangannya nak, kasar bukan?" tanyaku.
"Iya yah, kasar, seperti tergores-gores sekeliling lengannya," jawab Syair.
"Tangannya kasar karena dia relakan kulit halusnya untuk merawat anak satu-satunya hingga dewasa. Lihat uban di kepalanya nak, banyak bukan?"
"Iya ayah, hampir semua rambutnya berwarna putih," jawab Syair membenarkan.
"Begitu pula pengorbanannya bagi anaknya, seperti uban-uban itu, ayah tak dapat menghitungnya."
Begitu aku ceritakan lebih banyak lagi kisah tentang perempuan tua di dapur itu pada Syair anak pertamaku. Aku berharap dia mengerti maksudku, paling tidak setelah dewasa kelak dia akan ingat ceritaku ini. Dia Ku anggap sudah bisa mencerna berbagai pengalaman hidup, aku tahu karena Syair selalu menanyakan banyak hal tentang kehidupan, dia selalu menjaga tugas dengan baik menjaga adik-adik perempuannya Ghazia dan Affafa ketika ditinggal di rumah sendirian jika Aku dan istriku pergi.
Setelah lama berkisah pada anakku, aku ajak anakku ke suatu tempat sebelum senja datang.
"Ayo nak, ayah mau ajak kamu ke suatu tempat, tempat yang akan mengajarimu sekali lagi," kataku.
"Tapi ayah, maukah ayah jawab satu pertanyaan lagi?"
"Tentu saja, apa itu," jawabku dengan mengkerutkan dahi.
"Kenapa ia sendirian di rumah ini, dimana suaminya?" Tanya Syair dengan agak kebingungan.
Aku hanya tersenyum dan melanjutkan ajakanku. "Mari nak ikut ayah, semua itu akan kutunjukan jawabannya."
Kami pun sampai di tempat tujuan kami, tak jauh dari rumah, sekitar seratus meter, jalannya sudah berubah, semen beton telah menyelimuti jalan tanah yang dulu sangat licin sampai aku berulang kali terpeleset, apa lagi di musim hujan aku harus ekstra waspada jika tak ingin tubuhku bercumbu lumur.  
"Tunggulah di sini, sebentar lagi setelah bara di dapur tuanya padam dia akan datang kesini." Kataku pada Syair.
Aku menunggu di sebuah gardu kecil bersama Syair. Tak lama berselang, Emak datang, membawa sekeranjang bunga mawar dan sapu lidi. Ia mulai menyapu dan merapikan sebuah papan dari kayu yang sudah tidak begitu jelas tulisan yang melekat, tapi masih bisa dibaca dari jarak agak dekat.  Dilanjutkan menabur bunga, lalu ia menengadahkan tangan, dengan khusyuk ia berdoa, tidak terlalu lama, tapi raut wajahnya mengisyaratkan kuatnya azzam. Persis seperti setiap hari dimana Emak selalu mengajakku saat aku kecil, begitu Emak masih belum berubah.
Anakku, Syair, hanya diam melihatku yang perlahan menitikkan air mata, sesaat ia menatapku sesaat ia menatap Emak, ia mencoba mencerna.
"Ayah, apakah makam itu makam suaminya?” tanya Syair sambil menunjuk kearah gundukan tanah di depan Emak.
Aku tersenyum pada anakku, memberikan pelukan sebentar dan meolehkan wajahnya kearah Emak dan menjawab “ia dulu selalu bilang pada ayah kalau ia akan menyusul mayat di makam itu, mayat suaminya, kapanpun yang ia tidak mengetahuinya, , dan kematian yang sempurna adalah ketika hidupmu dekat dengan Yang Sempurna.”
"Aku mengerti ayah, semua ini aku mulai paham maksud ceritamu. Ayah, aku mengerti bahwa ibumu telah mengajariku sesuatu hal yang sangat berharga, dia mengorbankan banyak hal, dia menjadikanmu menjadi ayah yang hebat bagiku, dia tegar hidup sebatangkara hanya dengan bekal pesan kematian lewat kuburan suaminya yang sudah mati, dan satu lagi yang terpenting ia membuatmu merasa sangat bahagia bertemu dengannya hari ini.”
Aku segera pulang lebih dulu sebelum senja menghilang, meninggalkan Emak di kuburan sebelum Emak juga pulang ke rumah, menanti pelukan hangat emak yang lama kurindu.

----------Selesai

(Azwar A., 20 Mei 2013)

Selasa, 16 April 2013

PUISI: PADAMU GERIMIS:

Dimana rembulan? 
Tangis gerimis meratapi malam
            membuat rembulan hanya bermunajat di atas altarnya
Gerimis, menarikan tetesnya yang bercumbu dengan daun dan rumput
Di balik gerimis, kehidupan berdamai
Padamu gerimis
            mengguyur peluhku sepulang mencari hidup
            hingga senyum istri dan anak yg tiada pamrih menyapaku pulang.

(Azwar A. 2-1-2013)

PUISI: BAIT BAIT PADA SAHABAT SUKMA D.P.

Pernah kulihat
Bola mata di balik kaca itu
Tertatap jatuh
Tapi menangkap lebih jauh

Juga aku lihat
Saat daun mulai gugur
Tertanggal runtuh
Tapi bunga terkembang pada ucapmu

 
Sekali lagi kulihat
Pada hidupmu
Bermimpi merengkuh satu
Tapi melangkah seribu

(Azwar A, 1 Maret 2013)

PUISI: NEGERI RETORIKA

Ini, kaya tapi merana
Ini, luas tapi terbatas
Ini, semilyar ide tapi tak lebih parade
Ini, badai kritik tapi banjir munafik
Ini Negeri Retorika
 

(Azwar A, 3 Februari 2013)

PUISI: PADA ISTRIKU

Dan tak cukup seribu tahun lagi
Kisahmu memahat terbalaskan
Dengan satu hela nafas
Cinta seorang pengabdi
Bagi apa yang semestinya

Ketika daun mengering
Sejuta buah bagi manusia
Dan aku
Bersedih jika kau jatuh lebih dulu

(Azwar A, 25 Feb 2013)

Kamis, 11 April 2013

PUISI: USANG YANG TAK PERNAH KELAM


Di dapur itu , nyanyian nostalgia terdengar merdu
Selendang tua beradu dengan tungku batu
Helai demi helai uban di kepala cerminkan lawas sudah arungi waktu
Telah sekian lama duduk meniup abu_nafas tak sekuat dulu

Ah…mata itu, ter-relakan berlinang hanya sebab sang anak tak mampu tersenyum sebelum pejam
Tangan yang tak pernah tua, walau waktu begitu tajam
Di balik keriput kulitnya, tulang-tulang  tak lagi segan tunjukkan memori keperkasaan
Terkadang batuk mengiringi lantunan nyanyi-nya, menundukdiamkan


Api semakin dewasa, tiupan lembut telah purna
Membuat dapur itu merasa hangat dan menandakan usai tugasnya yang tak lagi belia
Nampak langkah bergegas berkejaran dengan senja
Menuju tempat istimewa yang penuh kan kamboja

Ya… waktu paling dinanti setelah terjaga
Menabur bunga dan panjatkan doa
Di depan rumah baru suaminya yang mati setahun kemarin
Sampai senja menjadi kelam, ia pulang dan menanti esok di sini lagi

 (Azwar A., 10 April 2013)

Rabu, 10 April 2013

PUISI: GHAZIAKU

Ghazia cantik..bumi memanggil dewasamu, langit menunggu munajatmu
Si miskin menanti sentuhan damaimu, si kaya menyambut nasehat berbagimu
Ghazia putriku..dengar mereka yg sedih durjana, tunjukan bagaimana cara si bunda tersenyum pada anaknya
Dengar mereka yg tak sadar akan dijajah, bawakan secangkir kebebasan dan sepiring khasanah.
Ghaziaku..aku wariskan dirimu untuk kehidupan

(Azwar A, 4 Januari 2013)

PUISI: PADA POHON RESAH

Daun cinta terjatuh
Tinggalkan buah ego yang tersenyum lebar

(Azwar A, 14 Februari 2013)